marra huzna
Jumat, 27 April 2012
cerpen
Sketsa hidup anak negri
Oleh: maratul husna
Mengarungi kehidupan dunia, melukiskan berbagai sketsa fana dengan kanvas berwarna, disitu hadir berbagai problema, menguak isi negri dengan berbagai tindakan manusia-manusia republika.
Hari senin, seperti biasa segudang aktivitas dan rutinitas bertumbuk. Jadwal kuliah di pagi hari, rapat organisasi, dan beberapa hal penting lainnya mulai meyadarkanku untuk segera bergegas. Setengah jam lagi jadwal kuliah untuk jam pertama di mulai. Selesai kuliah kurang lebih 2 jam yang lalu. Kini masuk ke jadwal agenda rapat organisasi yang masih bernaung di bawah universitas tempatku menimba ilmu sekarang ini. Rapat berjalan lancar dan sesuai dengan yang di harapkan. Hari telah siang, aku dan dua orang temanku sepakat untuk ke salah satu rumah makan di pinggiran kota, tidak terlalu jauh dari universitas kami. Belakangan ini, sering kami makan di sana, bukan karena faktor sedap makanan atau apa, tetapi untuk melihat problema dan kehidupan para pemulung dan anak-anak jalanan yang sering makan juga di rumah makan yang sama. Maklum saja, warung makan ini selain harganya murah untuk di jangkau, juga tempatnya yang bersih. Wajar saja jika banyak di serbu oleh mereka yang berpenghasilan minim, bahkan kurang.
Ada beberapa pemulung yang makan di meja pojokan warung, ada juga anak-anak jalanan di sana.sepertinya mereka sekomunitas atau satu perkumpulan. Mungkin bagi orang lain enggan untuk berbaur dengan mereka yang terkesan berkehidupan kumuh. Tapi untuk aku dan kedua temanku, berbaur dengan anak-anak ini, menyaksikan rutinitas mereka, menjadi suatu pelajaran tersendiri. Aku mulai mengerti arti kehidupan, pedihnya bertahan hidup, ketidakadilan republika, mengais nasib dan berbagai hal pedih lainnya. Aku dan kedua temanku hanya mengenal wajah-wajah mereka. Tidak tau pasti siapa nama mereka. Tapi ada hal mulia dari mereka, mereka saling menghargai sesama, punya solidaritas yang tinggi, mereka ramah pada kami, mungkin mereka tau bahwa beberapa minggu ini kami seringkali memperhatikan mereka. Mungkin saja mereka curiga, hanya saja tidak berani mereka tanyakan akan hal itu kepada kami. Maklum saja, mereka masih anak-anak umur-an sekolah dasar dan SMP.
“kasihan entong, sampai berapa lama dia tahan?”
“aku pun tidak tau, tapi mau bagaimana lagi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya”
“iyaaa...... tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menolongnya, semoga saja dia bisa keluar secepatnya”
“lebih baik kalian makan saja dulu, kita masih harus kerja, jika setoran kita tidak cukup hari ini, bisa jadi tidak dapat makan malam lagi kita seperti halnya semalam. Kalian mau tidur kelaparan lagi? Si entong lebih beruntung dari kita, dia diberi makanan gratis tanpa harus bekerja seperti kita. Kalau saja aku punya pilihan, aku lebih memilih di penjara lagi dari pada jadi copet lagi seperti ini. Kalian tidak pernah masuk penjara, makanya tidak tau enaknya bagaimana”
“sudahlah, makan saja terus, kita masih kurang setoran nih untuk bang mun. Aku tidak mau lagi kena marah apalagi kena tampar dan kelaparan lagi”
Aku dan kedua temanku menyaksikan anak-anak itu sedang bercengkrama. Bisa kami simpulkan bahwa mereka kehilangan seorang temannya yang di tangkap polisi karena ketahuan mencopet dan kami pun biasa menyimpulkan bahwa hidup mereka seperti di hantui rasa takut. Aku coba mendekati mereka, semakin penasaran aku akan kehidupan mereka. Ada rasa iba melihat mereka, meskipun wajah mereka terlihat agak kasar di bandingkan dengan anak-anak lain yang seumur-an mereka. Yaa.... itu karena kehidupan mereka.
“ sebentar ya, aku mau ke meja mereka sebentar” ucapku pada kedua temanku yang sedang menghabiskan makanannya.
“ mau apa, kar? Mereka tidak akan membuka tabir kehidupan mereka. Percuma saja” tutur bang ridho, dia temanku sekaligus kakak kelasku di kampus,
“sebentar saja, bang. Bukannya karra mau tau urusan mereka, tapi cuma mau tanya saja sedikit kenapa mereka jadi seperti itu”
“coba saja, mereka tidak akan mau di tanya-tanya soal kehidupan mereka, biasanya seperti itu kalau anak-anak jalanan, mereka akan buka mulut jika di kasari, kamu ancam saja kalau mereka tidak menjawab pertanyaan kamu nanti.” Kata iwan, dia juga kakak kelasku yang kini jadi teman baikku.
“tidak perlu kasar, urusan yang seperti ini pake pemikiran yang bagus, jangan pake otot” aku menjawab sambil terus berlalu menuju meja makan di pojokan warung yang memang tempat berkumpul gerombolan itu saat makan siang.
Kulihat ada 2 orang dari mereka sedang asik menghitung lembaran uang 50 ribu dalam dompet. Tapi bagimana bisa mereka punya banyak uang sebanyak itu? Akupun mulai berfikir, itu pasti hasil copetan hari ini.
“nah.... kalau saja setiap hari kita dapat hasil sebanyak ini pasti bang mun tidak akan marah-marah lagi sama kita, benar tidak, zul??” ucap bocah yang sedang menghitung uang tersebut
“ benar tuh, andai saja setiap hari kita dapat mangsa yang punya uang banyak yah..... hahahaha” jawab temannya sambil tertawa.
“ sinikan uang itu!!!” aku merebut uang itu dari tangan bocah tersebut dngan cepat, mereka kaget.” Ini hasil copet kalian??” tanyaku sambil mengambil posisi untuk duduk di tengah-tengah mereka.
“ balikin itu punya gue, kenapa lu comot? Balikin segera, cepat!!!” berontak seorang bocah yang terlihat paling tua di antara mereka.
“kenapa kalian nyopet? Orang-orang itu banting tulang untuk cari uang, sedangkan kalian seenaknya saja mengambilnya dari mereka. Kalau kalian butuh, kalian kan bisa minta dengan baik-baik, pasti mereka mau kasih, tidak harus jadi copet seperti ini.....”
“ kami kan pencopet, kak. Kami bukan peminta-minta” bocah itu menjawab seraya mengambil kembali uang yang tadinya ku pegang di tanganku secara cepat, aku juga kaget
“ kalo yang peminta-minta itu tuh yang di sebelah kakak” bocah itu menyambung lagi ucapannya sambil memasukkan uang yang di rebutnya dari aku ke saku celananya.
“Oke.... saya tanya sama kalian sekarang, kalian ada berapa orang semua?”
“21 orang. Untuk apa tanya jumlah kami?’
“ kalian begini tidak di ketahui oleh keluarga kalian? Kalian tidak malu jika ketahuan oleh teman-teman sekolah kalian? Bagaimana jika temen-teman kalian dan juga guru-guru sekolah kalian tau bahwa pekerjaan kalian seperti ini?. Apa kalian tidak berfikir seperti itu?”
Semuanya diam, aku jadi bingung, apa aku salah ya jika aku bertanya seperti itu? Aku jadi merasa tidak enak hati, jadi salah tingkah aku sekarang. ”jawab dong, kenapa kalian diam??” aku kembali bertanya memecah kesunyian mereka.
“ kami tidak punya keluarga, kami juga tidak sekolah” jelas seorang bocah kecil yang duduk paling pojok.
Aku jadi terdiam, terdengar begitu miris tuturan bocah itu. Aku jadi merasa bersalah kepada mereka. Mereka kini semua jadi terdiam, sebagian dari mereka menunduk.
“jadi kalian tinggal sama siapa?”
“ kenapa tanya-tanya kami terus?”bocah yang paling tua diantara mereka terlihat sedikit emosi. “kalian semua kenapa masih duduk disini, ayo kembali kerja lagi, kalau ketahuan oleh bang mun bisa di tampar kalian semua” dia melanjutkan perkataannya.
Dan serentak mereka bergegas meninggalkan meja makan ini, “sebentar, bang mun itu siapa?” kucegat bocah itu.
“dia bos kami, kenapa? Berhenti bertanya tentang kami” ketusnya.
“aku boleh menemuinya?”
“untuk apa?”
“Untuk sebuah kesepakatan”
“Kesepakatan apa? Lebih baik jangan”
“loh kenapa?”
“ kami bisa kena marah, tidak ada seorang pun yang tidak kami kenal di perbolehkan ke markas kami oleh bang mun”
“oke... aku karra, nama mu siapa?”
“aku aceng”
“Baiklah aceng, aku akan berusaha mengajarkan kalian semua sesuatu yang baik, oleh karena itu aku butuh bantuan kamu untuk mempertemukan aku dengan bos kalian. Kapan kamu ada waktu?”
“ oke... tapi kalau nanti bang mun jadi marah, itu bukan urusan kami. Dan satu lagi, jangan bawa teman-teman kakak yang lain” dia menjawab sambil menoleh kearah bang ridho dan bang iwan yang dari tadi ternyata memperhatikan aku. “nanti jam 5 kita jumpa di sini lagi”. Lanjutnya sambil berlalu di ikuti teman-temannya yang lain.
“ayo kembali ke kampus, sebentar lagi karra masuk kuliah lagi” ucapku pada kedua temanku.
Jadwal kuliahku untuk hari ini habis, begitu juga dengan urusan kegiatan mahasiswa di kampus.semuanya sudah beres. Aku kembali menuju rumah makan di pinggiran kota yang tadi siang kami singgahi. Kulihat jam di tangan sudah menunjukkan angka 04:50. Cepat-cepat aku melajukan motorku ke rumah makan itu. Kulihat disana sudah ada aceng di depan rumah makan yang sudah tutup itu.
“yang lain kemana?”
“ kelompokku sudah pulang lebih dulu, yang ngemis mungkin sebentar lagi, yang yang ngamen juga”
“yaa sudah, ayo kita ke markas kalian, sudah sore, saya bisa telat pulang ke rumah nanti”
“Ayo”
Kubonceng aceng di belakang motorku menuju marakas mereka. Sebenarnya ada rasa was-was juga aku ke markas mereka. Mengingat kehidupan mereka yang keras, sudah pasti mereka kasar, yaa... walaupun banyak yang ramah, tapi antar sesama mereka tidak untuk orang yang tidak mereka kenal. Apa lagi aku perempuan. Tapi aku beranikan diri demi keinginan yang ingin kuwujudkan. Aku mau mereka merdeka tidak harus tertindas seperti ini. Bahkan mereka tidak mendapatkan perolehan wajib sekolah 9 tahun. Undang-undang di negri ini di susun sedemikian apik. Tapi sayang tidak sejalan dengan fakta yang ada. Yah... aku sedikit kecewa dengan hal ini, mengingat bocah-bocah jalanan ini yang tidak memperoleh haknya sebagai warga negara. Tapi aku bisa apa...... aku hanya mahasiswa semester 4 di salah satu universitas di kota ini. Aku juga bukan tokoh, yang biasanya di kenal oleh khalayak. Jadi aku sungguh tidak berpengaruh dalam hal itu. Mau berontak, tapi sama siapa? Aspirasiku boleh saja di tampung, tapi belum tentu di jalankan oleh pemerintah kota, apalagi pemerintah negri. Aku ingin menjadi tokoh, tapi tidak harus menjadi tokoh. Aku ingin membebaskan mereka dari keterpurukan yang mungkin saja tidak mereka sadari. Tidak lagi hidup dengan menganut hukum rimba di kalangan mereka. Karena mereka juga hidup di negara yang berlandaskan hukum.
“ di gedung tua itu markasnya”
‘Baiklah, saya parkirkan motor di sini saja”
“jangan, di dalam saja, bisa di ambil orang nanti kalau di sini” aceng mengingatkan. Dan aku bisa tau bahwa kehidupan di kawasan sini agak berbahaya.
Aku berada di sebuah ruangan besar tapi sama sekali jauh dari kata bersih. Banyak debu, ada beberapa meja dan kursi terletak sembarang tempat,ruangan ini sama sekali tidak terurus. Ada jendela tanpa kaca di samping kiri. Diantara dua tiang tengah ruangan ini ada ayunan yang sudah lumayan tua jika di lihat, mungkin ini untuk mereka bermain, ada satu meja yang lumayan lebar di smping kanan ayunan, di sana ada beberapa botol minum yang kosong, juga beberapa bekas bungkusan nasi. Sepertinya tidak ada yang mengurus ruangan ini sama sekali. Kulihat ke pojokan ruangan yang agak sedikit remang-remang, disana ada banyak alas kardus, aku pikir itu itu alas untuk tempat tidur mereka. Gedung tua ini terdiri atas dua lantai, bisa jadi ini bekas ruko yang sudah tidak terpakai, dan kelihatannya gedung ini pernah terbakar sebelumnya, di bagian dindingnya ada bekas hitam, mungkin itu karena lahapan api.
“siapa yang kau bawa itu ‘ceng?” suara itu memecah belengguku tentang ruangan yang tidak jelas ini. Seorang lelaki bertubuh kekar berdiri di tangga. Dia hendak turun sepertinya. Wajahnya beringas, jika kuperhatikan usianya sekitar 30-an tahun.
“ini bang, mbak karra’
“kenapa kau ajak kemari?” dengan cepat dia kembali bertanya kepada aceng
“dia mau bertemu sama abang, katanya”
“kenapa kamu biarkan dia kemari, bodoh!!!”lelaki itu meng-gertak aceng. “tanyakan dia ada perlu apa dia kemari!” lanjutnya
“kak, untuk apa kemari?” aceng menanyakan aku dan menoleh kearahku yang tepat di belakangnya.
“saya ingin membuat kesepakatan untuk memperharui sumber daya manusia yang anda kelola saat ini” aku menjawab sambil melangkah kedepan.
“eh, cukup berdiri di situ, maksud kamu apa?” tanya lelaki itu
“begini, saya ingin menjadikan anda relasi kerja saya, jika anda setuju dengan usul saya maka kita akan menjalankan kesepakatan itu, saya tidak akan memaksa anda. Tapi ini demi sumber daya manusia yang anda punyai saat ini, dan itu mereka, aceng dan kawan-kawannya. Mereka punya potensi yang besar, tapi perlu diasah” aku mulai menjelaskan
“ikut aku ke atas” lelaki itu mengajak aku
Di lantai atas tidak jauh berbeda dengan lantai bawah, semua barang dan benda-benda berserakan. Belum lagi dengan jemuran baju anak-anak itu. Di sudut ruangan kulihat para bocah itu sedang berkumpul bersama. Ada yang sekedar bercanda dengan temannya, ada juga yang tergolek di lantai dengan beralaskan kardus bekas. Aku seperti orang kebingungan, kulihat ke kiri dan kanan serta sekeliling ruangan ini juga. Rasanya tak betah aku berada di ruangan pengap ini, meskipun hanya 5 menit saja. Tapi aku coba sedikit berbaur dengan keadaan mereka.
“Duduk” kata lelaki itu kepadaku sambil menggeserkan sebuah kursi tua kedepanku. Lelaki itu duduk di depanku. “’ceng, kamu bergabung saja dengan anak-anak” ucapnya pada aceng. Aceng pun segera beranjak ketengah kawan-kawannya yang di pojokan ruangan.
“ apa maksudmu tadi?” tanya lelaki itu kembali.
“ saya berniat membantu anak-anak ini keluar dari profesi mereka saat ini. Itu membahayakan mereka. Dan saya juga mau mereka mengenyam pendidikan. Mereka butuh itu, saya juga baru-baru ini mengetahui bahwa salah satu dari mereka di bawa kantip akhir-akhir ini, saya minta maaf jika saya berkata seperti ini. Bukan niat saya ingin menghakimi anda atau menuduh anda yang jadi biangnya. Hanya saja saya merasa kasihan kepada mereka. Masa depan mereka akan tidak jelas jika hal ini berlarut-larut dan terus mereka lakukan. Apa lagi mereka tidak punya pendidikan sama sekali. Saya tau penghasilan anda dari mereka, tapi hal ini akan mengancam mereka jika kita biarkan terus. Dan hal itu akan berakibat fatal, tidak hanya untuk mereka, tapi juga untuk anda. Setiap manusia mempunyai potensi, begitu juga dengan mereka, belakangan ini saya sering memperhatikan mereka, dan saya juga banyak tau tentang mereka, saya minta maaf jika anda keberatan”
“oh.... tidak apa, aku juga pernah mimikirkan soal pendidikan mereka. Tapi bagaimana? Mereka tidak punya biaya. Jika mereka sekolah, mereka tidak bisa kerja, sedangkan bea sekolah mahal.belum lagi untuk keperluan yang lain. Yah. Aku hanya tamatan SMP saja, bagaimana bisa mengajarkan mereka? Akirnya aku putuskan untuk begini saja dan sepertinya mereka menikmati pekerjaan mereka”
“Anda tidak pernah mengamati mereka? Mereka sebetulnya tersiksa, mereka bagai orang tertindas. Mereka selalu di hantui ketakutan, takut di amankan oleh petugas kantip, takut di keroyok massa bagi yang nyopet, seperti aceng. Yang memulung lebih-lebih lagi, mereka mencari barang bekas, kalau kita pikir berapalah harga barang bekas, seberapa banyak pun mereka dapat tetap juga jumlah uang yang didapat sedikit. Belum lagi jika dapat tengkulak yang jahat, intinya mereka takut jika setoran ke anda kurang, mereka takut jika anda marah, mereka juga takut jika tidak dapat makan”
“ iya, aku mengerti. Jadi apa mau mu?”
“ saya ingin mereka bisa belajar, meskipun di sekolah yang formal, mereka bisa belajar di sini. Dan untuk sementara mereka tidak harus berhenti dulu dari pekerjaan mereka. Ini karena kita membutuhkan dana untuk membangun usaha bagi mereka nantinya. Hasil yang di dapat dari mereka kerja bisa kita tabung sedikit-sedikit. Tidak perlu banyak, tapi harus di setor setiap hari. Ini untuk memperlancar usaha. Dan jadwal belajar bisa kita atur.”
“kamu minta berapa untuk bayarannya?”
“ saya tidak mencari untung dengan ini. Maaf, bukan saya menolak, saya hanya ingin membebaskan mereka dari belenggu yang selama ini menyelimuti mereka. Saya akan bekerja suka rela untuk mengajarkan mereka. Tapi saya tidak sanggup jika sendiri saja, saya butuh teman untuk mengajarkan mereka. Karena saya masih terikat dengan kuliah. Jika anda setuju, saya akan mencari orang untuk mengajarkan mereka jika saya tidak sempat. Yang saya khawatirkan, orang-orang enggan bekerja jika tidak dapat income sedikitpun”
“ baiklah, kamu atur saja, saya setuju urusan bayaran nanti saya pikirkan untuk orang yang mau mengajarkan mereka”
“ oke. Terimakasih, di sini kita hanya di butuhkan modal kepercayaan, saya percaya anda, anda juga harus percaya saya.”
“ nanti aku bicara dengan anak-anak, kapan bisa di mulai?”
“ lebih cepat lebih baik. Sebaiknya begini saja, mereka bekerja setengah hari saja, dan sorenya mereka sekolah, bagaimana??”
“bisa, bisa.... biar aku bicara kepada mereka nanti.”
“ kalau begitu saya pamit pulang dulu, sudah sore pun. Besok sore saya kembali kesini untuk mengenalkan pendidikan kepada mereka”
Malam ini aku minta bantuan kepada bang ridho dan iwan, dan mereka setuju dengan ideku.aku menjadi sangat girang, entah kenapa, aku juga tidak tau. Mengingat para bocah jalanan itu aku jadi sadar, bahwa negri ini terkurung dalam kutukan kemanusiaan yang didewakan selama lebih dari tiga dasawara menjelang akhir abad ke dua puluh. Ingatan kolektif para penghuni negri telah lenyap, terlebih lagi mereka yang memiliki kekuasaan, sudah tidak lagi ada rasa kebersamaan yang ada hanya nafsu duniawi untuk memperkaya diri dengan merampas hak manusia yang lain. Buat mereka yang punya kekuasaan, hukum hanyalah angin yang dengan gampangnya bisa di tepis. Namun bagi mereka yang lemah, saat harus bergelut dengan hukum, rasanya sudah seperti mati kutu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengelaknya. Seperti halnya bocah kecil jalanan yang di bicarakan aceng dan kawan-kawannya tadi siang.
****
Selesai kuliah siang ini aku singgah di sekret UKM sebentar, ada undangan pelatihan kegiatan enterpeineur untuk kami sebagai anggota lembaga kampus. Selesai berunding, aku pun menemui bang ridho dan iwan untuk segera ke markas aceng dan temannya. Dan metode belajar sudah kami bicarakan semalam melalui chattingan.
“ini markas mereka, ra?” tanya bang iwan
“iya bang, kenapa? Sudahlah, belajar menyesuaikan diri saja bang”
Di dalam sudah ada beberapa anak-anak yang menunggu kedatangan kami. Hari ini pelajaran dan pengalaman belajar pertama buat mereka sekaligus pengalaman baru juga untuk kami. Tidak berapa lama proses belajar-mengajar pun di mulai. Agak gugup kurasa. Tetapi coba aku tepiskan. Setelah mengenalkan diri, bang iwan mulai memberi arahan tentang pentingnya pendidikan.
“intinya, pendidikan itu sesuatu yang harus kita punya dalam hidup ini, jika tidak, kita akan selalu tertindas oleh keadaan” iwan menjelaskan.
“ ‘wan, jangan bicara seperti itu, cari kata-kata yang mudah untuk mereka mengerti, apa kamu tidak melihat, anak-anak seperti orang kebingungan dari tadi” bang ridho berbisik ke bang iwan.
“ kenapa pendidikan itu harus kita miliki, sepenting apa dia?” salah seorang dari mereka bertanya. Sepertinya semangat belajar mereka tinggi.
“ lebih penting yang mana uang atau pendidikan?” yang lainnya menyela
“ah, bodoh, ya penting uang lah. Kalau tidak ada uang bisa lapar kita bisa kena marah juga sama bang mun” salah satunya menyela
“sudah-sudah.... jangan ribut. uang dengan pendidikan sama-sama penting. Di jaman sekarang, pendidikan itu butuh uang. Maka kalian mestinya giat untuk belajar, karena kalian tidak di pungut biaya untuk belajar. Dengan pendidikan kita juga bisa dapatkan uang. Misalnya, kalian dapat hasil kerja 10 ribu dalam sehari. Jika kalian berpendidikan, maka kalian akan jadi pintar, kalian bisa mendapatkan uang lebih dari 10 ribu dalam sehari”. Bang ridho menjelaskan ke mereka.
“bagaimana caranya?” salah seorang bocah kembali bertanya.
“caranya kalian harus sekolah dulu supaya pintar, jika kalian pintar, kalian bisa jadi orang penting. Kalian akan jadi orang sukses, maka kalian akan punya penghasilan tetap, tidak perlu lagi jadi pengemis, peminta-minta dan dan jadi pemulung. Pada dasarnya pendidikan itu dapat merubah pola pikir dan juga hidup seseorang. Kalian mau jadi orang sukses?”
“mmaaauuuuu.....” jawab mereka serentak
“pendidikan bisa membuat kita menjadi orang penting, berarti kita bisa jadi presiden, dong..... enak ya... jadi presiden kan banyak uang.” aceng mulai menyelutuk
“wah.. iya, presiden banyak punya banyak uang. Berarti yang orang yang memerintah di negara kita juga banyak uang kan? Aku juga mau” sambung yang lainnya.
“iya... tapi mereka juga pencopet, kata bg mun” celutuk yang lain lagi
“kalau pemerintah mencopet bagaimana ya? Sama seperti kita tidak?”
Aku tersenyum melihat keluguan mereka. Semangat mereka tinggi. Dan kami senang.
“kalau pemerintah, tidak dikatakan pencopet, tapi koruptor” ucapku
“kenapa tidak di sebut pencopet?” pertanyaan ini membuat aku dan temanku bingung
“karena mereka pencopet yang berpendidikan”
“koruptor itu banyak uang ya?”
“iya, yang disebut koruptor itu pencuri uang rakyat, bayangkan saja ada berapa banyak rakyat di negara kita, sudah pasti para koruptor banyak uang, uang hasil curian,”
“kalau begitu saya mau sekolah, mau jadi pintar, terus jadi koruptor, punya banyak uang. Hey, teman-teman, kalian mau jadi koruptor? Kita akan punya banyak uang” ucap bocah yang duduk di deretan depan
“aku mau”yang lainnya serempak menjawab
“hidup koruptor......”
“yeeee.....hidup”
Aku dan temanku jadi bingung, sekaligus tertawa mendengar pernyataan-pernyataan lugu dari mereka.
****
Seminggu telah berlalu, kami telah mengajarkan hal dasar kepada mereka. Seperti cara menulis, menghafal abjad, berhitung, membaca.juga ilmu matematika, ilmu alam, sosial, agama dan kewarganegaraan. tidak mudah ternyata menjadi seorang guru, hal ini baru kusadari sekarang. Setelah aku merasakan sendiri bagaimana capeknya seorang guru mengajarkan muridnya. Untuk hal tabungan mereka, aku sudah menyetorkannya ke bank. Mudah-mudahan dalam waktu dekat sebagian dari mereka sudah mempunyai usaha baru. Namun untuk usaha dalam bentuk apa belu lagi aku pikirkan.
Jadwal kuliahku memang sama sekali tidak terganggu oleh kegiatan mengajar. Hanya saja ibu dan ayahku sering bertanya tentang keterlambatan aku pulang kerumah.
“karra..... kenapa sering pulang terlambat sekarang?” ibuku bertanya, saat kami sedang berkumpul di ruang tengah sambil menonton tv
“karra kerja, bu. Makanya sering pulang telat karena jadwal kerjanya sore, bu”
“karra kerja dimana? Ayah sudah pernah bilang, karra fokuskan kuliah dulu. Urusan kerja nanti dulu. Kalau begini takut nanti terganggu kuliah, dan ip karra bisa anjlok.”
“tidak, yah. Karra kerja diluar jadwal kuliah”
“kamu kerja dimana, nak? Di bagian apa?”
Aku mulai memutar otak, mencari jawaban yang tepat. “ di pengembangan sumber daya manusia, bu”
****
Empat bulan telah berlalu. Banyak hal yang sudah kami ajarkan ke murid-murid kami. Dan banyak hal pula yang telah mereka mengerti. Sebagian dari mereka sudah berpindah profesi. Aku menganjurkan kelompok pengemis dan peminta-minta dulu yang berganti profesi.karena pendapatan mereka lebih sedikit di bandinkan pencopet. Profesi yang kami pilih adalah membuat karya seni. Karya yang kami pilih ada tiga jenis, sebagian membuat karya dari sutrimin, yaitu seni jahit dengan menggunakan benang wol dan kain sutrimin. Ada juga yang membuat karya dari rotan, baik berupa keranjang ataupun yang lainnya. Yang satu lagi membuat kursi dan meja dari enceng gondok dan bambu. Kami memilih karya yang seperti itu karena bahan bakunya mudah di dapat juga harganya terjangkau. Ya..... disinilah motif ekonomi di butuhkan. Dengan modal minim harus bisa mendapatkan hasil semaksimal mungkin.
Di bulan ke delapan, semua mereka sudah berhenti menjadi pencopet, pemulung, dan peminta-minta, teman mereka yang di tahan di penjara beberapa bulan lalu juga sudah kembali.. Kini mereka sudah menekuni pekerjaan barunya. Ada rasa bangga di hatiku untuk perubahan ini. Begitu juga dengan kedua temanku serta bang mun. Kini usaha mereka mulai membuahkan hasil setelah kami usulkan mereka ikut pameran seni yang di adakan di kota ini. Sudah ada beberapa pelanggan yang mulai meng-order dengan jumlah puluhan. Dan tentu saja income yang mereka dapat lumayan besar. Rasa puas dan terimakasih kepada kami tidak pernah lupa mereka ucapkan. Begitu juga dengan bang mun. Berulang kali beliau mengucapkan terimakasih.
Sekarang mereka sudah bukan lagi bocah-bocah jalanan yang terkesan kumuh dan dekil, mereka kini adalah anak negri yang mempunyai potensi besar, punya hasil karya yang bisa di nikmati oleh orang lain. Setahun telah berlalu. Mereka kini sudah tidak lagi tinggal di gedung tua yang pengap. Akan tetapi sudah ada tempat tinggal baru berupa sebuah rumah yang di tempati bersama. Mereka juga sudah mempunyai pabrik untuk bekerja. Orderan datang dari berbagai kota, karena kami mulai mempublikasikan karya-karya mereka lewat pameran-pameran seni. Mereka sudah cukup kewalahan menerima orderan sampai akhirnya aku menganjurkan mereka untuk mencari pekerja baru. Dan kami memilih anak-anak jalanan lainnya yang masih hidup luntang-lantung untuk bergabung.
Kami rasa mereka kini sudah bisa me-manage penghasilan mereka.mereka suda cukup pintar dalam usaha ini. Kini aku pun sudah memasuki akhir semester enam.aku sudah harus kembali fokuskan ke kuliahku, karena sebentar lagi aku akan meninggalkan kampus dan meraih gelar sarjana.targetku aku harus wisuda tahun ini. Makanya aku harus mengejar targetku. Sedangkan bang iwan dan bang ridho, mereka baru saja selesai wisuda bulan lalu.
Aku bangga kepada mereka yang mampu menciptakan perubahan. Tidak hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga bagi para pengemis jalanan yang lain.
Kota ini dulunya terasa begitu kejam untuk mereka. Tidak pernah ada yang sejenak menundukkan kepala untuk sekedar berfikir bagaimana kehidupan mereka esok. Tumpukan sampah, emperan toko, trotoar jalan, gang-gang kecli hanyalah saksi bisu bagaimana mereka bertahan hidup di masa yang lalu. Tetapi ketekunan dan ikhtiar mereka terjawab oleh waktu yang telah mengubah nasib mereka. Mereka bisa karena mau berupaya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru
Posting Lama
Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar