Rabu, 12 Maret 2014



Antara Kita, Pacarku dan Perasaanmu
Marratul Husna

“beruntunglah saat kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya” ucap dhika sore itu. Kata-kata itu masih tengiang jelas di telingaku. Tidak pernah terfikir semua akan seperti ini. Tidak pernah tersirat dalam pikiranku rasa cinta akan tumbuh seiring asa berkelana. Sama sekali aku tidak tahu menahu soal ini.
*****
Tangisan langit masih terus terguyur. Keadaan seperti ini sangat mengganggu sebetulnya. Hari mulai gelap namun hujan tak jua reda. Sepanjang bibir teras kampus masih tergenang air. Hal ini membuat aku enggan untuk keluar dari lobi utama kampus.
“hey, masih disini rupanya?” sapa bang dhika
"Eh, bang dhika. Iya nih bang. Masih hujan gimana bisa pulang?” aku menjawab seraya menoleh kearahnya yang sekarang ada disamping kiriku
“udah mau magrib loh. Cemana bisa pulang lagi kamu, ra? Rumah kamu jauh dari sini loh, lagi pula ujan deras juga. Bahaya loh pulang kesana malam-malam dalam keadaan kaya’ gini. Apalagi kamu cewe’”
“tapi mau gimana? Malas pulang ke kost-an nanda”
“balik bareng aku aja kerumah. Ntar aku antar kamu pulang, gimana?”
Seusai shalat magrib di rumah dhika, laga’nya tangisan langit mulai agak reda. Niat hati ingin cepat-cepat balik kerumah. Ada rasa canggung berada dirumah dhika. Mengingat keadaan yang tidak mendukung aku tidak punya pilihan lain. Karena rumah dhika sedikit lebih dekat dengan kampus maka inilah yang jadi alternatif kami.
“karra, makan malam disini saja. Siap makan baru nanti dhika antar pulang. Motor kamu titip disini saja, besok pas kekampus ambil lagi disini. Kalau balik tetap pake motor bisa basah kuyup nanti dijalan.lagi pula ibu agak cemas kalau lihat kamu pulang dengan keadaan yang seperti ini.” Nasehat mama dhika
“iya bu. Karra mau bilang trimakasih sekali untuk ini”
“sama-sama karra”

Waktu terus berputar dengan cepat pada rotasinya. Ibarat pelari yang akan tersungkur dititik final pertandingan. Kemanapun kita pergi disitulah kita berada. Dan aku.... tetap saja terus mendayung perahu kehidupanku guna menempuh lautan hidup untuk sampai kepulau idaman. Ini bukan hanya soal cinta. Realita hidup tidak selalu soal cinta. Makna dibalik setiap tindakan akan berpengaruh penting bagi ulasan akhir dalam sebuah kehidupan. Akupun begitu. Tidak begitu paham dengan pelakon-pelakon kehidupan lain. Aku hanya mencari apa yang baik untukku asal itu tidak menyakiti yang lain. Namun itu baru upaya.
Dhika merupakan salah seorang kakak kelasku. Dia senior yang paling kejam pada masa kami diorientasikan. Masih terekam dimemoryku setiap gertakan dia.
“kenapa kau pilih teknik!!!??”
“aku tidak tahu. Ini sebuah kecelakaan” jawabku pada masa itu. Bisa kulihat wajah dhika memerah seketika. Mungkin dia marah. Dan aku agak sedikit takut pada lelaki berkulit kuning langsat ini saat itu.
“kau sangka teknik ini tempat buangan? Teknik bukan tempat untuk orang yang hilang tujuan layaknya kau sekarang ini!!!. Jika kau tidak punya alasan jangan pernah masuk ke fakultas teknik. Setiap orang yang menjadi mahasiswa teknik punya alasan yang jelas mengapa mereka berada disini. Kau chamkan itu” dhika menggertakku.
Emosiku tidak stabil. Semua orang melihatku. Beberapa senior lain ikut-ikutan menggertakku juga. Ingin nangis rasanya ketika merasa di bully seperti ini. Peserta orientasi yang lain juga melihatku. Sebagian dari mereka ada yang disuruh push up dan sit up karena menertawakanku.
“kenapa kau diam?!!” gertakan selanjutnya dari senior perempuan. Jika kuperhatikan dia sedikit mirip nicky minaj dengan bibir tebalnya dan sok eksis.”kau jawab pertanyaan senior kau!! Kenapa kau berada disini jika kau tidak punya alasan!!” tubuhku didorongnya.
“aku tidak punya alasan. Dan itu alasanku. Jika aku bertanya kenapa kalian semua para senior berada disini? Apa alasan kalian?” nada suaraku bergetar. Tapi kupaksa untuk tidak terlihat seperti pengecut.
Beberapa diantara mereka saling menoleh. Dan dhika kembali memegang toa seraya mendekatiku. “kau mau jadi preman disini? Beraninya kau bertanya hal yang harusnya ditanya kepada paserta orientasi oleh senior?  Perlu kau tau, teknik ini bukan sarang para preman. Disini tempatnya para kaum-kaum terpelajar. Sepertinya kau layak dihukum karena hal ini. Senior...!!! tarik anak ini. Berikan hukuman yang setara.”
Namun entah hal apa yang kemudian membuat kami dekat. Pernah suatu hari pacarnya dhika menghampiriku saat dikantin kampus. Dia terlihat sedikit sedih. Awalnya aku tidak pernah berfikir dhika mempunyai pacar. Toh aku tidak punya hak untuk tahu menahu urusan orang. Aku sama sekali bukan perempuan yang ingin tahu urusan orang. Aku tidak seperti itu.
“ kamu karra?”
“iya, maaf kakak siapa?”
“linda, ternyata kamu penyabab dhika menjauh dari aku. Tapi.... sama sekali nggak ada hal lebih dari diri kamu” ucapannya sedikit ketus ditambah senyum sinisnya. Sungguh pemandangan seperti iblis di senetron rahasia ilahi jika sepintas kulihat dari senyum sinisnya.
“apa masalah anda? Mengganggu makan siang saya, ngelantur hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya.”
“kau pikirkanlah!!” lindapun berlalu
Aku dan beberapa temanku Cuma mengeleng  tanda tak paham, ada juga yang Cuma mengangkat bahu dengan makna serupa.
****
Enam bulan pertama telah berlalu. Indeks prestasiku tidak sebagus yang lain. Anehnya sama sekali aku tidak pernah kecewa. Entah kenapa? Aku juga tidak punya alasan tepat.
“IP karra ngga sebagus yang lain bang” ungkapku saat dhika tanya indeks prestasiku.
“kan abang pernah bilang dulu, jangan terlalu sibuk dengan organisasi.fokusin kuliah juga. Berorganisasi boleh tapi jangan sampai kuliah nge-drop”
“makasih ya”
“semester depan harus lebih baik dari ini ya. Abang sebentar lagi disini kalau kamu ngga bisa jaga diri kamu dengan baik ga ada orang lain yang bakal peduli. Maka dari itu pintar-pintar lah cari kawan”
Seusai shalat asar di mushalla kampus kami ketaman kota. Aku senang dengan dhika yang bersikap dewasa. Namun juga humoris. Ada rasa senang saat mendengar celotehnya yang humoris. Dan soal linda yang beberapa waktu lalu sama sekali tidak pernah aku ceritakan padanya. Diapun tidak pernah sekalipun membahas soal hubungan cintanya. Yah.... itu bukan masalah bagiku. Toh aku dengannya hanya sebatas adik dan kakak kelas saja.
Memasuki pertengahan semester genap aku mengenal seseorang yang akhirnya membuat aku melabuhkan hati pada pautan cintanya. Namanya Rinal. Aku mengenalnya disalah satu acara talkshow ekonomi perbangkan BRI untuk jurnalistik. Karena aku bergelut diUKM pers dan Rinal bekerja part-time disalah satu stasiun radio swasta maka dari itu mungkin takdir berpihak pada kami. Dan akhirnya kami dipertemukan.
Sikapnya yang baik juga tuturnya yang bersahaja membuat aku berulang kali bersyukur bisa memilikinya. Meskipun berbeda kampus bukan halangan untuk tetap bisa bersama. Beberapa bulan setelah itu dhika wisuda. Namun kami masih sering berkomunikasi. Dia masih sering kekampus. Sekedar refreshing sore mungkin. Tidak lama berselang Rinalpun wisuda sarjana juga. Dan di akhir semester genap ini aku memperoleh indeks ptrestasi yang lumayan bagus. Dhika senang mendengarnya. Rinalpun tak kalah senangnya.
“kamu berhasil, ra” puji dhika
“ini semua juga karna bantuan abang loh”
“yaudah kalo gitu traktir aku lah. Hahahaha....

Empat bulan telah berlalu. Semuanya berjalan baik-baik saja. Memiliki pasangan yang pengertian. Memiliki sahabat yang penyayang. Bagiku itu sebuah anugerah besar. Hingga pada akhirnya Rinal mengikuti tes kerja kontrak diluar daerah untuk penanggulangan daerah terpencil. Awalnya semua biasa saja. Hingga pada akhirnya musibah itu menerjang kami begitu saja. Rinal lulus menjadi pegawai kontrak namun di tempatkan diluar daerah. Kini dia di kalimantan. Pulau yang terpisah dari sumatra. Terpisah dari aceh.  Meski begitu komunikasi kami masih lancar sebelum musibah itu menerjang. Dhika juga selalu mengingatkanku untuk tetap setia juga tetap tenang meskipun Rinal jauh.
“selama aku disini kamu pacaran dengan dhika?” suara Rinal dari seberang telpon
“sama sekali tidak. Kamu sendiri tahukan siapa dhika? Bagaimana aku dengan dhika?”
“terus kenapa kamu tadi sore kamu jalan mesra dengan dhika?”
“demi Tuhan aku tidak sebejat itu. Aku tau kamu jauh, tapi aku tidak selicik itu. Aku tahu bagaimana batasan. Aku tahu bagaimana aku harus bersikap.”
“kamu bisa saja bohong!!!”
“kamu tanyakanlah sendiri pada dhika. Apa yang terjadi. Itu ngga lebih dari sekedar belajar saja. Aku meminta dhika mengajariku soal beberapa sintaksis pemograman. Cuma untuk kenyamanan kami memilih tempat di taman kota. Demi Tuhan aku ngga bohong”
“terserahlah. Dan aku sama sekali tidak percaya omong kosong yang seperti itu”
Selama ini tidak pernah kami bertengkar. Ini baru pertama kalinya. Ada seseorang yang memata-mataiku, kurasa. Dan peristiwa pertengkaran semalam tidak pernah aku ceritan pada dhika. Pertengkaran itu semakin berlanjut dari hari kehari. Hingga akhirnya melebihi sebulan kami terus bertengkar. Setiap apa yang aku lakukan diluar kampus diketahui oleh Rinal. Dan aku di fitnah sudah sejauh ini.Aku tidak tahan dengan semua. Keluh kesahku akhirnya kuceritakan pada dhika.
“wa’alaikumsalam. Abang masih ditempat kerja. Lagi benerin beberapa sistem komputeristik perbankkan”
“ooo.... yasudah, ngga papa juga kalo gitu bang, maaf ya kalo ngganggu”
“ngga loh ra, kamu lagi ada maslah ya? Kalo gitu kita jumpa jam 4 sore nanti di taman ya”
Semua kecewaku terhadap Rinal, curigaku tentang mata-mata, sakit hati dan semua yang kurasa kutuangkan begitu saja. Dhika mengangguk dalam. Itu pertanda dia cukup paham dengan keadaan ini. Senja sore yang merona sama sekali tidak mencuri perhatianku. Aku masih larut dalam keadaan tak menentu ini.
“kamu yang tabah ya. Setiap prilaku jahat itu pasti akan terungkap. Ini Cuma soal waktu aja”
“makasih bang. Tapi aku heran kenapa ada penfitnah sekeji itu”
“kita tidak pernah tahu isi hati orang, Ra. Orang yang kita lihat biasa saja bisa jadi menyimpan cinta yang dalam untuk kita. Dan sebaliknya orang yang kita cinta belum tentu sebaik yang kita kira”
Selang beberapa minggu setelahnya hubungan kami berakhir. Sepertinya kami sama-sama memendam amarah antara satu dengan yang lain. Rinal terlalu percaya akan omongan orang yang menfitnahku atau si penfitnah terlalu banyak menaburkan merica penyedap untuk menghancurkan asa.dhika masih selalu mensuport. Dia masih sebaik yang dulu. Tidak berapa lama akhirnya aku tahu siapa penfitnah keji itu
“selama ini kau percaya  omongan rani? Asal kamu tau Rani itu adalah musuh dalam selimut. Dia begitu karna dia juga menaruh rasa yang sama terhadapmu”
“kamu tahu dari mana? Rani mengaku melihat semua” aku Rinal dari seberang telpon
“bang novar yang cerita semua. Kurasa cinta rani terhadapmu melibihi aku. Lama jadi rekan kerjamu dalam satu studio. Menurutku hal wajar kalo benih cintanya bisa numbuh. Dan kecewanya aku kenapa kamu bisa percaya kata-kata orang tapi tidak dengan penjelasanku” misuhku saat itu
“maafin aku. Aku sangka semua itu benar. Dan aku punya foto-fotonya semua yang dikirimkan rani”
“aku kecewa”
Semenjak kejadian itu dhika yang penyayang terlihat lebih peka terhadapku. Lebih memperhatikan keadaanku. Itu hal terbesar yang pernah kudapat dari seorang sahabat. Namun hal ini sepertinya terhenti semenjak sebulan terakhir. Sayangnya tidak lagi seperti yang dulu. Laksana awan gelap berkelabung. Namun tak ada tanya mengapa yang keluar dari mulutku. Aku lunglai dikunyah asa untuknya. Namun hal terbesar dalam hidupku juga telah dimulai. Sosok lelaki impian telah kudapat sebagai pengganti Rinal. Aku rasa ada yang berubah dari aku. Beberapa teman kuliah mengatakan aku sedikit terseret dari sikap tomboy dan cuekku yang dulu.dhika juga pernah mengungkapka hal itu. Dan dia senang. Namun perhatiannya tetap saja tidak sebanyak dulu. Kupikir itu karna dia mulai menemukan seorang yang dia cinta. Dan perhatiannya kepada perempuan itu jauh lebih diutamakan dibanding untuk aku yang hanya sebatas adik kelasnya.
****
Mengawali pagi cerah hari ini berawal dari ucapan selamat pagi dari sosok pangeran hati. Dialah a'im. Lelaki baru yang mampu menembus dinding hati dan mencoba menetap disana. Dan ucapan selamat pagi dari dhika juga tidak pernah absen. Hanya ucapan selamat pagi saja. Namun.... tidak berapa lama ringtone ponselku bunyi. Itu panggilan dari dhika.
“iya bg.... ooo... maaf bang. karra ngga bisa. Paginya kekampus. Siap dari kampus kebadan imigrasi bang”
“kamu mau kemana? Kok ke imigrasi?”
“temenin a'im buat pasport bg. Mungkin lain kali aja ya bang. Maaf ra ngga bisa temenin abang hari ini”
Dhika memintaku untuk menemaninya ke toko buku. Dari nada bicaranya yang kudengar dari sebrang telepon sepertinya tersimpan kecewa. Aku maklum karna sebelumnya kau tidak pernah menolak ajakannya. Demikian juga dia.
Malam hari. Dhika mengungkapkan bahwa saat dikampus siang tadi ia sempat melihat aku dengan a'im. Hanya saja aku yang tidak menoleh kearahnya. Hal itu terjadi karena memang aku tidak tahu keberadaannya kala itu.
Demikian selanjutnya. Dhika mulai sedikit agak terlihat acuh. Dia mulai jarang kekampus hanya untuk sekedar bergabung nongkrong sore. Juga mulai jarang menanyakan keadaanku. Namun ucapan selamat pagi yang tidak pernah absen dia kirimkan. Hingga kemudian semuanya ku ketahui. Dan kini aku mulai memahami. Mulai menitikkan air dari likuk dua sungai kecil di pipi. Dan taman ini menjadi saksi. Taman dimana kami sering bergurau. Dimana kami sering bertukar pendapat. Tempat ia mengajariku berbagai mata kuliah yang aku tidak mengerti sebelumnya. Tempat dimana kesabarannya terpupuk untuk menunggu, untuk mengajari. Sore yang cerah sebetulnya. Namun keadaan membuatku merasa semuanya begitu kelam untuk saat ini.
“aku Cuma mau pamit dek” ungkapan pertamanya
“mau kemana?”
“aku diterima kerja di jakarta. Disebuah perusahaan sana. Aku dikontrak selama 3 tahun”
“jadi??..... aku ngga bisa larang juga, kan? Aku bukan siapa-siapa. Baik-baik disana”
“kamu juga baik-baik disini”
“jangan lupa kirimin aku kabar ya”
“pasti. Kamu baik-baik sama a'im. Aku ngga mau kejadian seperti yang lalu terulang lagi. Jangan sampai di bodohi oleh keadaan”
“iya, bang”
“aku ngga pernah tau kapan kita bisa jumpa lagi dek. Tapi perlu kamu tau bahwa aku akan merinduimu..... hhhmmm.... sebenarnya aku Cuma mau bilang sesuatu makanya aku mengajak ketaman”
“apa itu?”
“sebelumnya aku mau nanya. Apa kamu merasa aku bertingkah aneh?”
“ngga”
“maaf sebelumnya. Apa karra punya rasa sama abang?”
“rasa seperti apa?”
“semacam cinta”
“cinta sebagai kakak kelas yang baik juga sebagai malaikat berwujud manusia”
“aku sudah menebaknya. Kamu harus tau. Namun sebetulnya aku tidak ingin kamu mengetahuinya. Tapi hal ini tidak dapat aku pendam”
Sejenak kemudian hening. Dhika sepertinya mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan pikiran dan hatinya kurasa. Ada rasa berat untuk berbicara sepertinya. Aku memperhatikan dengan seksama. Dia kelihatan gugup. Lantas menunduk. Tidak lagi menoleh aku yang duduk sampingnya.
“kamu tidak pernah sadar aku selalu memperhatikanmu semenjak masa orientasi angkatanmu dan itu sudah 3 tahun lamanya” dhika mulai berkata lagi namun masih dalam keadaan menunduk sambil mecabut rumput-rumput rapi yang kami jadikan alas tempat duduk. Aku terdiam
“aku senang kamu bisa temani aku. Aku senang saat kamu bisa dengarin keluh aku. Aku nyaman kala kamu disamping aku. Aku senang kamu dengerin nasehatku.
Dan sedihnya aku saat tau kamu tersakiti oleh rasamu kepada orang lain. Aku sedih karena aku bukan pelipur lara kamu. Namun sedih aku kala itu tidak sesedih aku sekarang, ra. Aku sebenarnya ngga ingin pergi dari Aceh. Aku ngga ingin jauh dari kamu. Tapi aku sadar semakin aku bertahan dengan keadaan seperti ini maka semakin gila6 aku dengan rasa ini.
Aku sayang kamu. Dan aku pernah berharap suatu saat bisa memilikimu. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan. Awal aku tau kamu sama rinal aku cemburu karena sepertinya kamu cinta sama dia. Saat kamu putus aku senang. Aku ngga peduli kalau sekarang kamu bilang aku jahat. Tapi itu yang aku rasa. Saat kamu dengan Ridi, aku biasa saja. Karna aku tau kamu ngga akan bertahan lama dengan dengan anak pelayaran itu. Dan yang sangat disayangkan aku begitu lunglai sekarang. Hatiku hampir mati dikunyah rasaku untukmu. Terserah jika kamu bilang aku seperti cewe. Tapi ini yang aku rasa sekarang. Saat kamu dengan a'im aku lebih sakit dibanding saat kamu dengan Rinal”
“kenapa ngga pernah bilang dari dulu bang? Ra ngga pernah tau. Dan sekarang Ra minta maaf”
“ngga perlu minta maaf dek. Ngga ada yang salah. Yang ada hanya lelaki bodoh. Dan sekarang lelaki bodoh itu sadar bahwa tidak akan mungkin menunggu sesuatu yang tidak pernah jadi miliknya. Karna apa? Karena aku melihat begitu banyak perubahan yang ada. Kamu mulai sering ke mushalla kampus. Kamu udah ngga seabrek dulu. Kamu udah lembut. Jujur sebetulnya kau suka. Tapi sayang bukan aku yang melalukan itu padamu. a'im yang berhasil melakukannya. Jika boleh jujur, dari awal sebetulnya aku juga punya niat yang sama seperti yang dilakukan a'im padamu sekarang. Mungkin kurang aku hanya nyali aja yang selalu ciut, makanya tidak pernah berhasil.
Aku yakin kamu tidak akan meninggalkan orang yang telah membuat perubahan besar dalam hidup kamu. Aku tau kamu tidak sebodoh itu. Maka dari itu aku mundur. Meskipun ini bukan ajang kompetisi. Kamu bukan sesuatu yang di perebutkan namun aku tidak dapat mengelak kalo aku juga menginginkanmu untuk jadi pengisi hati”.
Aku terus terdiam meskipun dhika sudah berbicara panjang lebar. Aku mulai menangis. Tidak punya alasan untuk ini. Sepertinya semua sendi di otot bukan lagi alat gerak aktif. Aku terlalu kaku. Aku menyesal tidak pernah tau hal ini sebelumnya. Dan aku mulai ingat diawal kuliah saat pacarnya dhika melabrakku di kantin kampus.
“maaf kenapa abang putus dengan Linda?” tanyaku dalam serak tangis
“aku akui aku suka kamu. Dan Linda marah. Linda mutusin aku saat itu juga. Kamu ngga perlu nangis dek. Udah ngga da yang perlu ditangisi. Dan aku menyesal dengan ini” akhirnya dhika menatapku setelah lama menunduk. Matanya merah tapi tak terlihat bekas air mata disana. Dia menggenggam tangan kananku. Telapak tangannya begitu dingin, sedingin hatinya yang telah beku.
“apa abang menyesal karena mengakuinya kepada Linda?”
“sama sekali ngga. Aku bukan orang yang ngomong A-B-A-B, jika sekali aku bilang iya, maka sampai kapanpun hal itu ngga akan berubah, meski pada akhirny apa yang aku harap tidak bisa aku dapat. Dan mulai saat itulah aku slalu berusaha membuat kamu nyaman saat dengan aku. Untuk apa? Aku berharap kamu tau apa yang aku rasa. Tapi ternyata tidak. Dan mulai saat itu aku sadar kamu bukan pelabuh hati seperti pada umumnya. Aku mulai berusaha keras namun buka semata-mata untuk mendapatkan hatimu, tapi juga untuk kebaikanmu sendiri. Dan setelah aku tau kamu begitu mencintai naim, aku menyerah. Dan sepertinya kamu memang lebih pantas dengannya. Hatimupun aku kira sudah kamu kunci. Aku sadar itu, Ra”
“maaf bg, jika Ra tau dari awal mungkin hal ini ngga akan terjadi”
“maka dari itu aku tau dek. Sekeras apapun aku berusaha kamu ngga akan tau, karena kamu memang tidak punya rasa yang sama dengan aku. beruntunglah saat kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya. Dan jangan pernah berpikir aku akan membencimu. Aku ngga akan begitu. Kamu masih adek aku. Kalo nanti kamu mau cerita sesuatu kita masih bisa sharing. Hanya saja mungkin kita ngga akan jumpa. Aku akan merinduimu. Kamulah perempuan sederhana yang bisa mengalihkan hatiku setengah sempurna dan akan sempurna jika kamu mengimbangi setiap gerak langkahku”

Tiga jam berlalu begitu saja. Hingga pada akhirnya dhika mengantarku pulang. Itulah saat yang akan kuingat sampai kapanpun. Aku ngga akan bilang aku menyesal. Bukan karna aku angkuh namun karena sesuatu yang terlambat menjadi alasan dan aku telah menemui kebahagiaanku. Antara aim dan dhika akan tetap tertulis dalam ruang hati di tiap kisahnya. Kubiarkan kisah mereka membuat jendela-jendela indah sebagai ganti lentera jiwa. Aku tidak pernah menyamakan antara keduanya. Aku masih mempunyai naim sebagai pangeran penyejuk jiwa. Namun aku kehilangan sosok kakak yang penyayang. Sudah beberapa hari ini dhika berada dijakarta. Aku sedikit merasa kehilangan namun coba aku tepiskan. Aku masih bersikap seperti biasanya. Aku ngga ingin mengecewakan Naim. Dan dhika masih mengirimkan ucapan selamat paginya seperti biasa. Perlu kalian ketahui kawan, sungguh ini bukan sebuah persimpangan. Ini hanya sebuah kisah dari jenis lainnya

Senin, 04 Februari 2013

saat cinta tidak menyatukan hati

"jika tidak ada yang bertanya lagi, saya cukupkan materi kuliah kita untuk hari ini sampai disini saja. Sampai jumpa di minggu depan" demikian sang dosen mengakiri jadwal mengajarnya.
"lu kemana ra? Buru-buru amat, si amat aja gak buru-buru kaya lu," aries negur sambil mencibir.
"gue harus ke radio, ada hal penting yg harus gue selesein skarang. Bye... " ujar ku sambil terus ngeloyor keluar ruangan.
***

jalanan kota tidak begitu padat. Masih cukup untuk sedikit cepat memacu motorku ke tempat yang ku maksud.
Tiiiitttt.... Sebuah mobil mendahului laju motorku. Mungkin hal bodoh untuk orang lain dengan cara yang kulakukan. Memacu motor dengan kecepatan tinggi hanya untuk menemui orang yang telah menggoreskan luka di hati. Namun untukku, hal itu bukan aral. Cinta yang ku miliki mengalahkan luka hati yang pernah tercipta.

Tidak butuh lama untuk menempuh jalan guna bertemu sosok yang setengah mati membuat hidupku tak tentu arah. Ku telusuri lorong ruangan sebuah studio radio di kotaku. Tempatnya bekerja secara part time. Menaiki tangga dengan buru-buru, beberapa karyawan terus memperhatikanku. Mungkin mereka berpikir aku teledor, amburadur, atau apalah, aku sendiri tak mau tau. Terserah mereka melihat atau berpikir mengenai aku seperti apa.
"bg, ayed dimana?"
"ada di dalam, baru aja siap nyiar, masuk aja, ra" jawab bang rizal salah satu announcer juga.
"makasih"

"jadi maunya bagai mana lagi?, aku harus bisa membahagiakan ibunya, tapi dilain sisi juga cinta sama kamu"
rasanya langit runtuh mendengar kata-kata dari mulutnya. Sumpah... Tidak pernah sekalipun aku berpikir bahwa dia akan kepicut dengan sosok dewi yang mentel itu. Ku kerahkan asa untuk tetap tegar. Berusaha untuk tidak membuat likuk sungai kecil di wajah.
"emmm... Ya sudah, aku gak apa. Kalau memang ini yang terbaik, jalani aja. Aku akan mundur."
"aku tidak berniat untuk menyakitimu, ra. Aku hanya ingin membahagiakan mamanya dewi. Itu saja, gak lebih. Percaya sama aku. Cinta aku cuma sama kamu." ayed menerangkan sambil mengelus kepalaku.
Ruang ini terasa begitu sumpek. Sungguh sulit untukku bernafas. Kelopak mata telah penuh dengan cairan bening, yg memaksa keluar dari peraduannya. Namun masih ku coba untuk tidak terlihat cengeng. Kusapu air mata secara diam-diam disela-sela omongan dia.
"kamu masih bisa terima kan kalau kita harus back street agar tidak ketahuan sama dewi?, aku tau kamu wanita yang tegar. Aku mohon, tolong bertahan untuk sekali ini saja, ra. Ini gak akan lama."
"aku gak janji, ya sudah, spertinya mendung tambah pekat. Aku pamit pulang, takut nanti hujan deras" aku memutuskan pembicaraan, bukan karna takut pulang kehujanan, namun karna sudah tak sanggup mendengar permohonannya.
Kuraih tangannya. Memang sudah kebiasaan jika berjumpa atau pamit untuk berjabat tangan lantas mencium tangannya. Sedikit terkejut, tangannya begitu dingin. Menandakan bahwa dia tidak nyaman dengan keadaan yang sekarang.
"yok aku antar sampai depan" ujarnya.
Keluar dari ruangan, menuruni tangga, menelusuri lorong, hingga sampai ke teras depan serta ke tempat parkir, tanganku terus saja di genggamnya.
"kamu hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut."
"iya, aku pamit. Assalamualaikum" aku pamit.
"waa'laikumsalam, oh ya, nih, pake jaket biar ga masuk angin nanti dijalan." ayed mengeluarkan jaket yg terlipat rapi dari dalam tasnya.
"makasih" tak kuasa aku menolak.

***

langit terus menangis, beringan dengan tangisanku. Sengaja aku mengurung diri dalam kamar, tidak mau berjumpa dengan siapapun, apalagi berbicara.
Trittriiit... Trittriiit...
Ringtone hp ku berbunyi. Telpon dari ayed. Kubiarkan saja hp terus berbunyi. Hatiku terasa sakit. Bagaimana bisa dia menuruti permintaan bu hamidah mamanya dewi untuk bertunangan dengan dewi. Jika sudah saatnya nanti mereka akan menikah. Aku tau sebenarnya ayed keberatan dengan permintaan bu hamidah, tapi mengingat kondisi bu hamidah yang semakin terkulai lemah akibat tumor ganas yang menyerangnya, membuat empati dan rasa kasihan ayed bergejolak. Di lain sisi bu hamidah juga teman akrab umminya ayed.
Jaket yang diberikannya tadi sore belum juga kulepas. Tercium wangi parfumnya di jaket ini.
Jika ku ingat-ingat, aku bahagia mempunyai pasangan yang punya toleransi tinggi. Namun dilain sisi aku akan terluka dengan cemburu yang akan menggebu. Bagaimana tidak, saat menjenguk bu hamidah ke rumah sakit pasti ayed berusaha romantis kepada dewi, meskipun dia bukan tipycal cowo romantis, tapi pasti dia akan berusaha terlihat akur bersama dewi didepan mamanya dewi. Ah.... Aku tidak sanggup membayangkannya.

3 panggilan tak terjawab dari ayed. Akhirnya dia sms.
"Arra sayang, aku tau kamu tidak bisa trima keadaan ini. Aku juga sama. Tapi aku tak kuasa untuk terus mengelak permohonan mamanya dewi. Sakitnya bertambah parah, mungkin jika aku menyanggupi permintaannya kesehataannya akan sedikit membaik. Percaya sama aku, aku tidak akan jatuh cinta lagi selain sama kamu. Luph you tomboy... "

sms itu sama sekali tidak dapat meredakan tangisanku.

****

"arra, kamu kurang tidur?" tanya pak ikbal seusai jam kuliah.
"ah, gak pak, saya tidur yang cukup kok."
"jangan bohong, atau kamu habis nangis semalam suntuk?" pak ikbal terus menerka.
Kelas sudah sepi. Cuma tinggal aku dengan pak ikbal dalam ruangan ini. Jujur, aku butuh teman curhat. Tapi jika diperhatikan pak ikbal juga berniat untuk dijadikan teman curhatku. Blakangan kami sering komunikasi serta lumayan akrab. Usianyapun masih seumuran sayed. Selisih 5 tahun dariku.
"kalo kamu tidak keberatan, kamu bisa cerita sama saya, mungkin saya bisa membantu." tawaran pak ikbal.
Segala keluh kesah kuceritakan pada dosenku itu. Dengan antusias dia mendengar. Sudah tidak seperti dosenku lagi dia sekarang, namun dy bagaikan seorang teman.
"saya juga bingung jika begini alurnya. Tapi coba kamu jalani jika kamu benar-benar percaya dia. Kamu jauh lebih tau bagaimana dia. Karena kamu orang terdekatnya. Namun jika kamu tak sanggup, tidak ada salahnya jika kamu melihat sekitar. Ada seseorang lainnya yang juga menantimu berusaha menyembuhkan luka hatimu, ra. Tapi, itu semua kembali lagi ke kamu."
"makasih, pak"
"sama-sama. Jika kamu perlu bantuan saya, telpon saja. Tidak usah sungkan."
***
sesosok gadis dengan make up bagus betenger di wajahnya menghampiriku di kantin kampus.
"arra..."
"ya, ada apa?"
"datang ya ke ultah ku besok, ayed juga datang loh."
"tapi wi, aku gak bisa. Aku harus... "
"halaa.. Please... " dewi memotong pembicaraanku.

Tidak banyak bicara, hanya duduk terdiam sampai acara ulang tahun dewi selesai. Sesekali kulirik ayed yang juga sepertinya merasa marah dengan keadaan ini, dimana dia diperkenalkan dewi sebagai tunangannya di depan tamu undangan.

***
dua bulan telah berlalu. Ayed semakin jadi cowo pendiam. Dia lebih banyak untuk pergi camping dengan teman organisasinya dibanding harus menghabiskan waktu bersama dewi. Kutahu itu dari teman dekat ayed. Sedangkan dengan aku dia hanya menyempatkan untuk menelpon atau sekedar sms.
Kuliahku hancur. Aku sering latihan band hingga jam 11 malam. Hidupku sudah tak menentu. Pak ikbal slalu menasehatiku. Dialah orang yang mengerti aku sekarang. Dia perhatian, dia sangat baik. Dia juga meminta agar aku tidak memanggilnya dengan sebutan 'pak' tapi diganti dengan 'bang' saja, kecuali saat jam kuliah.
Namun dewi, dewi sampai sekarang tidak tahu kalau dia benalu diantara aku dan sayed. Pernah saat aku berjumpa dengan dewi, dia cerita bahwa tidak lama lagi mereka akan menikah. Dewi sengaja menjumpai aku di kampusku hanya untuk menerangkan hal itu.
Rasanya memang sulit di percaya. Tapi sangat masuk akal jika dilihat dari sudut pandang mamanya dewi. Bagaimana tidak, mama dewi sangat menginginkan putri semata wayangnya untuk dipersunting oleh ayed.

***
"kalo gak niat latihan jangan dipaksain. Berulang kali kita coba juga gak bakal bersih kita main kalau temponya amburadur kaya gitu" rinal vocalis band ku protes.
"maaf.. Aku lagi banyak masalah. Kakiku juga sakit, susah untuk pijak pedal" semuanya hancur... Pikiranku sudah tidak sejernih dulu. Aku tidak bisa kontrol emosi.
***
"kamu pembohong, sia-sia aku mempertahankan kamu. Apa kamu ingat saat kamu nangis dan peluk aku, kamu bilang kamu akan kembali kepadaku? Gak kan? Sama sekali kamu gak ingat akan hal itu." misuh-misuhku saat menelpon ayed.
"arra sayang, dengerin aku. Aku tidak akan menikah dengan dewi. Aku sudah ajukan ke ummi aku agar melamar kamu saat kamu selesai kuliah nanti. Dan ummi menyanggupinya sayang."
"tidak perlu banyak alasan, kamu akan menikahi dewi bulan depan, itu yang kudengar dari dewi. Untuk apa kamu tunggu aku selesai kuliah? Itu memakan waktu 1 tahun lebih. Keburu kamu digaet dewi. Menikah saja dengan dewi, tak perlu peduliin aku"
"arra, dengerin aku dulu. Ibunya dewi yang maunya begitu. Aku masih belum jawab apa-apa, sayang."
tutt...tutt...
Kuputuskan telpon darinya.
Aku memencet tombol hp untuk segera menelpon pak ikbal,
"ya arra, saya lagi ngajar, sebentar lagi saya kesana." ujar ikbal dari sebrang telpon.

Dan untuk kesekian kalinya aku bercerita pada ikbal dengan diiringi tangis. Ikbal merangkul bahuku. Aku tak kuasa mengelak, kubenamkan kepalaku ke dadanya. Ada rasa nyaman disana. Aku lunglai dikunyah rasaku untuk ayed. "aku tau perasaanmu ra, kamu yang sabar ya, mungkin sudah saatnya takdir tuhan terungkap, siapa yang akan menjadi jodoh ayed." ikbal masih merangkulku.

"arra... Ini ada undangan, dari temanmu" ujar mamaku sembari menyerahkan selembar undangan pernikan berwarna emas.

SAYED DAN DEWI.

Stik drum yang kupegang jatuh kelantai. Tringg....
Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Apa masih bisa kupercaya kata-kata ayed yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah menikah dengan dewi? Apa aku tolol selama ini?
Yaa, aku memang tolol, memang bodoh, terlalu berharap akan cinta ayed yang telah terlilit benalu. Apa kata-kata manisnya selama ini hanya bualan saja?? Kinerja otakku sudah tidak selaras lagi.

***
"jangan pernah temui aku lagi. Aku cukup tau siapa engkau sesungguhnya. Apa ini yang namanya tak cinta? Tak cinta tapi menikah jua." aku membentak sembari melempar undangan pernikahan mereka ke meja. Ayed masih terbengong - bengong. Aku melangkah untuk keluar dari ruang studio ini. "arra tunggu," ayed menarik tangan ku. "aku bingung harus ngejelasin darimana. Mamanya dewi semakin kritis, dewi meminta aku agar bersedia membuat ibunya bahagia di sisa hidup ibunya. Aku sudah menceritakan tentang kita ke dewi. Dewi minta aku melakukan ini untuk mamanya, bukan untuk dia. Jujur, sampai sekarang tidak sedikitpun aku mencintai dia." ayed mulai menjelaskan
"kalau memang tidak cinta kenapa juga masih tetap bertahan? Bukankah itu setia namanya? Cinta dan setia itu selalu beriring sejalan yed. Sudahlah. Cukup sampai disini saja, bahagiakan saja dewi mu itu. Bukankah dia jauh lebih cantik dibanding aku? Bukankah dia feminim? Keibuan? Sedangkan aku? Tidak ada yang dapat kamu banggakan dari aku..." huupptt... Ocehan berhenti mendadak. Ayed memelukku erat. "please sayang, percaya aku. Bukan karna cantikmu, bukan karna tomboymu, tapi karna hatimu aku memilih kamu. Aku hanya tidak punya alasan kuat untuk bisa mengelak dari permintaan bu hamidah. Aku tak ingin terlalu dekat dengannya makanya aku lebih memilih camping dan caving. Kalaupun waktuku untuk kita berjumpa sangat sedikit blakangan ini, tapi ketahuilah waktuku untuk kamu jauh lebih banyak dibanding waktuku untuk dewi. Kalaupun aku mengunjungi bu hamidah, aku lebih nyaman pergi sendiri. Jarang sekali aku dengannya sayang." kurasakan air mata ayed menetes juga suaranya yang mulai serak. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Pelukannya masih sehangat dulu, masih terbenam wajah ku d pundaknya dikarenakan tubuh dia melebihi tinggiku.
***
kupacu laju motor diatas laju normal. Aku masih berontak akan keadaan ini. Pikiranku tidak karuan.
Tiitt... Brukk... Bum....

***
kakiku perih, tarlalu sakit untuk digerakkan. Aroma diruangan inipun semakin membuat kepalaku pening. Ruang apa ini Dengan ornamen yang serba putih?

"arra, kamu sudah sadar sayang... Mama sangat cemas." mamaku menitikkan air mata.
"arra kok disini ma? Kaki arra sakit."
"kakak.. Kakak udaah sadar." fais menghampiri tempat aku terbaring.
"faiz kok nangis sayang?" suaraku serak.
"abisnya kakak gak bangun-bangun udah dua hari."

kepalaku masih terlilit perban, begitupun dengan kaki kananku.
Tapi aku sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit dengan syarat harus banyak istirahat.

***
rasanya masih kaku bergerak dengan bantuan kruk. Tapi mau bagaimana lagi, keadaanku masih pincang ringan.

***
2 november...
Hari dimana ayed akan duduk berdampingan dengan dewi dalam sebuah pesta yang megah. Orang tua dewi rela merogoh kocek yang besar untuk pesta itu, dewi pernah bercerita hal itu blakangan.

Ringtone lagu dear god-a7x berbunyi di ponselku. Sengaja ku abaikan. Malas untuk berjalan ke kamar mengingat kakiku yg belum bersahabat betul. Beberapa kali ringtone itu terus berbunyi.

***
aku buka origami-origami kecil dalam toples kaca bermotif gitar pemberian ayed beberapa waktu lalu. Ada tulisan yang mengutarakan isi hatinya di setiap potongan origami warna warni.
"kalaupun kita harus berpisah, itu karna maut yang menjemput, bukan karna aku menjauhimu" luph you tomboy...
Salah satu tulisan diorigaminya. Ada ratusan origami kecil yang di berikannya dalam toples itu.
Ringtone hp kembali berbunyi.
"sayang, kamu dimana? Sayed sudah meninggalkan kita, sayang. Ummi coba telpon dari semalam, tapi no kamu tidak aktif." suara ummi ayed dari sebrang.
Aku sangat lemas, badanku sudah tidak sanggup lagi aku gerakkan. Terasa butiran bening mengalir membahasahi pipi.

***
dibantu ikbal aku melayat kerumah orang yang benar-benar aku cintai. Sanggat berat aku melangkah, kaki kananku kupandu dengan kruk juga dituntun oleh ikbal. Ummi memelukku. Menurut cerita dari ummi ayed semalam dia ikut balapan liar kemudian menabrak trotoar jalan sehingga tubuhnya terpelanting hingga ketengah jalan. Kepalanya bocor dan nyawanya tidak tertolong. Kemungkinan dia frustasi berat dengan pernikahannya yang seharusnya berlangsung tadi pagi. Kulihat rona wajah dewi yang duduk di ruang tamu rumah ayed masih berkabung. Dewi yang juga mencintai sayed merasa sangat terpukul. Sama seperti aku. Jenazahnya telah dimakamkan sejak pagi. Aku hanya bisa berziarah kubur di bantu ikbal yang masih setia menemani.
Sudah tidak ada lagi orang kucinta. Orang yang kusayang, yang kukasihi. Ratapanku tidak mungkin bisa membuat nyawanya kembali kejasatnya. Ayed yang kucinta telah tertidur tentram untuk selamanya. Sebuah tumpukan tanah merah dan dua tanaman jarak menjadi tempat peristirahatan terakir ayed.

Hingga hari ke tujuh aku masih selalu berziarah kemakam orang yang pernah menggoreskan cinta dihatiku. Sang dosen yang baik hati masih selalu setia menuntun langkahku yang belum terarah benar. Biarpun kubantu dengan kruk. Dewi... Orang yang menjadi benalu dalam cinta kami, selalu menundukkan wajahnya saat berjumpa denganku. Entah karena apa, aku juga tidak tahu.
8 bulan sudah ayed menutup usia, sesekali aku masih menyempatkan diri untuk berziarah kemakamnya. Ikbal juga masih setia menemaniku. Hingga akhirnya ikbal menyatakan perasaannya kepadaku. Aku belum bisa menerimanya untuk sekarang. Namun ikbal sangat dewasa. Dia akan bersedia menunggu hingga aku siap.
Sedangkan dewi, sang benalu aku tidak tau kabarnya kini. Aku hanya berharap ayed tenang dialam sana. Berharap Tuhan merangkulnya dengan cinta.

Senin, 05 November 2012

Disaat membaca dirasa tidak lagi penting


Renungkan
Disaat manusia tidak lagi peduli dengan kegiatan membaca dan menulis, namun lebih menggemari kehidupan Hedonis, maka itu akan menjadi mimpi buruk bagi masa depan. Negri akan terisolir, kekayaan akan dikuras habis oleh para kapitalis lantaran kita tidak becus membaca. Tidak lagi ada ilmu bagi kita. Kita akan menjadi bangsa yang paling terbelakang dibanding vietnam dan kamboja.
                                                                                                                                                          
Apa hubungannya dengan membaca?????
Tentu saja membaca keadaan, membaca situasi, membaca gelagat buruk, membaca peluang, membaca semuanya. Tentu saja hal buruk itu akan terjadi jika dari sekarang membaca tidak lagi kita galakkan. Hal ini akan mengancam kehidupan anak cucu kita di masa depan, akan menjadi kehidupan kelam bagi mereka, karena ulah kita. Akan ada aksi subversif dan kemudian lahirlah katastrofi berkepanjangan. Tidak lagi ada yang namanya pemikir, pengamat, ulama, dan mahasiswa-mahasiswa cerdas yang berusaha melawan atau menelurkan ide-ide pencerahan. Semuany mati karena kemalasan membaca, malas mencari ilmu, malas membaca keadaan, malas membaca info yang berkembang. Karena apa? Karena tidak mau peduli. Tidak peduli untuk membaca, tidak peduli dengan tulisan.

Mimpi buruk????
Yah,,,, mimpi buruk, dimana kita akan terputus total dari dunia. Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan dunia maya? Bagaimana dengan jejaring sosial yang sekarang digemari penduduk diseluruh penjuru negri ini??
Sama saja!! Para provider internet akan gulung tikar, karena tidak ada pemasok listrik. Kenapa? Karena tidak lagi yang mengerti seputar kelistrikan. Kenapa? Karena tidak ada yang belajar seputar kelistrikan. Kenapa tidak belajar? Karena tidak ada sekolah. Kenapa? Karena tidak ada guru. Kenapa tidak ada guru? karena tidak ada bacaan dan buku-buku. Kanapa tidak ada buku? Karena tidak ada yang menulis. Kenapa? Karena tidak ada yang mau membaca dan semua penerbit sudah mati. Kenapa tidak mau membaca? Karena satu-satunya kegiatan esensial itu diacuhkan. Kenapa di acuhkan? Lantara kita tidak punya kesadaran akan pentingnya membaca.

Bagaimana dampaknya???
Semua ini akan berimbas pada semua sektor kehidupan. Seluruh profesi yang ada di negri ini akan mati. Bagaimana hal ini bisa terjadi hanya karena satu saja biang keroknya? Pikir pakai logika!!!! Tidak akn ada lagi manusia  yang mau membaca, lalu tidak ada lagi yang bisa membaca, lalu tulisan-tulisan dan angka akan hilang dari peradaban.
Kejadian ini tidak terjadi serta-merta. Tapi gradual, berangsur-angsur. Dimulai dari sekarang. Dari kita yang tidak lagi peduli dengan kegiatan membaca dan menulis. Tidak lagi ada yang peduli dengan informasi. Tidak akan ada lagi manusia-manusia cerdas. Tidak ada lagi yang peduli dengan perpustakaan yang ada. Buku-buku yang ada hanya akan dimakan rayap. Atau mungkin akan di jual ke tukang loak, bisa jadi lembaran buku itu akan di gunakan untuk bungkusan bagi para pedagang. Tidak ada lagi ilmu. Dan kedepannya tidak ada lagi manusia cerdas. Lihat saja kebiasaan kita sekarang. Hanya suka menghabiskan waktu di depan televisi atau game yang berisi omongan dan aksi  tubuh. Kita akan menjadi regresif bahkan  menuju kehidupan primitif. Kita akan kembali mengulang sejarah ketika manusia belum mengenal tulisan, hingga kita benar-benar tidak lagi mengenal tulisan. Karena apa? Karena manusia tidak lagi bisa membaca, tidak lagi mengenal tulisan, tidak lagi mengenal angka dan huruf pada masa mendatang.
                                                                           
Mari tingkatkan membaca untuk  kehidupan yang lebih baik lagi, untuk wawasan yang lebih luas lagi, untuk jadi manusia cerdas, untuk menghidari mimpi buruk di masa depan, untuk kemajuan negri ini.