Rabu, 12 Maret 2014



Antara Kita, Pacarku dan Perasaanmu
Marratul Husna

“beruntunglah saat kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya” ucap dhika sore itu. Kata-kata itu masih tengiang jelas di telingaku. Tidak pernah terfikir semua akan seperti ini. Tidak pernah tersirat dalam pikiranku rasa cinta akan tumbuh seiring asa berkelana. Sama sekali aku tidak tahu menahu soal ini.
*****
Tangisan langit masih terus terguyur. Keadaan seperti ini sangat mengganggu sebetulnya. Hari mulai gelap namun hujan tak jua reda. Sepanjang bibir teras kampus masih tergenang air. Hal ini membuat aku enggan untuk keluar dari lobi utama kampus.
“hey, masih disini rupanya?” sapa bang dhika
"Eh, bang dhika. Iya nih bang. Masih hujan gimana bisa pulang?” aku menjawab seraya menoleh kearahnya yang sekarang ada disamping kiriku
“udah mau magrib loh. Cemana bisa pulang lagi kamu, ra? Rumah kamu jauh dari sini loh, lagi pula ujan deras juga. Bahaya loh pulang kesana malam-malam dalam keadaan kaya’ gini. Apalagi kamu cewe’”
“tapi mau gimana? Malas pulang ke kost-an nanda”
“balik bareng aku aja kerumah. Ntar aku antar kamu pulang, gimana?”
Seusai shalat magrib di rumah dhika, laga’nya tangisan langit mulai agak reda. Niat hati ingin cepat-cepat balik kerumah. Ada rasa canggung berada dirumah dhika. Mengingat keadaan yang tidak mendukung aku tidak punya pilihan lain. Karena rumah dhika sedikit lebih dekat dengan kampus maka inilah yang jadi alternatif kami.
“karra, makan malam disini saja. Siap makan baru nanti dhika antar pulang. Motor kamu titip disini saja, besok pas kekampus ambil lagi disini. Kalau balik tetap pake motor bisa basah kuyup nanti dijalan.lagi pula ibu agak cemas kalau lihat kamu pulang dengan keadaan yang seperti ini.” Nasehat mama dhika
“iya bu. Karra mau bilang trimakasih sekali untuk ini”
“sama-sama karra”

Waktu terus berputar dengan cepat pada rotasinya. Ibarat pelari yang akan tersungkur dititik final pertandingan. Kemanapun kita pergi disitulah kita berada. Dan aku.... tetap saja terus mendayung perahu kehidupanku guna menempuh lautan hidup untuk sampai kepulau idaman. Ini bukan hanya soal cinta. Realita hidup tidak selalu soal cinta. Makna dibalik setiap tindakan akan berpengaruh penting bagi ulasan akhir dalam sebuah kehidupan. Akupun begitu. Tidak begitu paham dengan pelakon-pelakon kehidupan lain. Aku hanya mencari apa yang baik untukku asal itu tidak menyakiti yang lain. Namun itu baru upaya.
Dhika merupakan salah seorang kakak kelasku. Dia senior yang paling kejam pada masa kami diorientasikan. Masih terekam dimemoryku setiap gertakan dia.
“kenapa kau pilih teknik!!!??”
“aku tidak tahu. Ini sebuah kecelakaan” jawabku pada masa itu. Bisa kulihat wajah dhika memerah seketika. Mungkin dia marah. Dan aku agak sedikit takut pada lelaki berkulit kuning langsat ini saat itu.
“kau sangka teknik ini tempat buangan? Teknik bukan tempat untuk orang yang hilang tujuan layaknya kau sekarang ini!!!. Jika kau tidak punya alasan jangan pernah masuk ke fakultas teknik. Setiap orang yang menjadi mahasiswa teknik punya alasan yang jelas mengapa mereka berada disini. Kau chamkan itu” dhika menggertakku.
Emosiku tidak stabil. Semua orang melihatku. Beberapa senior lain ikut-ikutan menggertakku juga. Ingin nangis rasanya ketika merasa di bully seperti ini. Peserta orientasi yang lain juga melihatku. Sebagian dari mereka ada yang disuruh push up dan sit up karena menertawakanku.
“kenapa kau diam?!!” gertakan selanjutnya dari senior perempuan. Jika kuperhatikan dia sedikit mirip nicky minaj dengan bibir tebalnya dan sok eksis.”kau jawab pertanyaan senior kau!! Kenapa kau berada disini jika kau tidak punya alasan!!” tubuhku didorongnya.
“aku tidak punya alasan. Dan itu alasanku. Jika aku bertanya kenapa kalian semua para senior berada disini? Apa alasan kalian?” nada suaraku bergetar. Tapi kupaksa untuk tidak terlihat seperti pengecut.
Beberapa diantara mereka saling menoleh. Dan dhika kembali memegang toa seraya mendekatiku. “kau mau jadi preman disini? Beraninya kau bertanya hal yang harusnya ditanya kepada paserta orientasi oleh senior?  Perlu kau tau, teknik ini bukan sarang para preman. Disini tempatnya para kaum-kaum terpelajar. Sepertinya kau layak dihukum karena hal ini. Senior...!!! tarik anak ini. Berikan hukuman yang setara.”
Namun entah hal apa yang kemudian membuat kami dekat. Pernah suatu hari pacarnya dhika menghampiriku saat dikantin kampus. Dia terlihat sedikit sedih. Awalnya aku tidak pernah berfikir dhika mempunyai pacar. Toh aku tidak punya hak untuk tahu menahu urusan orang. Aku sama sekali bukan perempuan yang ingin tahu urusan orang. Aku tidak seperti itu.
“ kamu karra?”
“iya, maaf kakak siapa?”
“linda, ternyata kamu penyabab dhika menjauh dari aku. Tapi.... sama sekali nggak ada hal lebih dari diri kamu” ucapannya sedikit ketus ditambah senyum sinisnya. Sungguh pemandangan seperti iblis di senetron rahasia ilahi jika sepintas kulihat dari senyum sinisnya.
“apa masalah anda? Mengganggu makan siang saya, ngelantur hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan saya.”
“kau pikirkanlah!!” lindapun berlalu
Aku dan beberapa temanku Cuma mengeleng  tanda tak paham, ada juga yang Cuma mengangkat bahu dengan makna serupa.
****
Enam bulan pertama telah berlalu. Indeks prestasiku tidak sebagus yang lain. Anehnya sama sekali aku tidak pernah kecewa. Entah kenapa? Aku juga tidak punya alasan tepat.
“IP karra ngga sebagus yang lain bang” ungkapku saat dhika tanya indeks prestasiku.
“kan abang pernah bilang dulu, jangan terlalu sibuk dengan organisasi.fokusin kuliah juga. Berorganisasi boleh tapi jangan sampai kuliah nge-drop”
“makasih ya”
“semester depan harus lebih baik dari ini ya. Abang sebentar lagi disini kalau kamu ngga bisa jaga diri kamu dengan baik ga ada orang lain yang bakal peduli. Maka dari itu pintar-pintar lah cari kawan”
Seusai shalat asar di mushalla kampus kami ketaman kota. Aku senang dengan dhika yang bersikap dewasa. Namun juga humoris. Ada rasa senang saat mendengar celotehnya yang humoris. Dan soal linda yang beberapa waktu lalu sama sekali tidak pernah aku ceritakan padanya. Diapun tidak pernah sekalipun membahas soal hubungan cintanya. Yah.... itu bukan masalah bagiku. Toh aku dengannya hanya sebatas adik dan kakak kelas saja.
Memasuki pertengahan semester genap aku mengenal seseorang yang akhirnya membuat aku melabuhkan hati pada pautan cintanya. Namanya Rinal. Aku mengenalnya disalah satu acara talkshow ekonomi perbangkan BRI untuk jurnalistik. Karena aku bergelut diUKM pers dan Rinal bekerja part-time disalah satu stasiun radio swasta maka dari itu mungkin takdir berpihak pada kami. Dan akhirnya kami dipertemukan.
Sikapnya yang baik juga tuturnya yang bersahaja membuat aku berulang kali bersyukur bisa memilikinya. Meskipun berbeda kampus bukan halangan untuk tetap bisa bersama. Beberapa bulan setelah itu dhika wisuda. Namun kami masih sering berkomunikasi. Dia masih sering kekampus. Sekedar refreshing sore mungkin. Tidak lama berselang Rinalpun wisuda sarjana juga. Dan di akhir semester genap ini aku memperoleh indeks ptrestasi yang lumayan bagus. Dhika senang mendengarnya. Rinalpun tak kalah senangnya.
“kamu berhasil, ra” puji dhika
“ini semua juga karna bantuan abang loh”
“yaudah kalo gitu traktir aku lah. Hahahaha....

Empat bulan telah berlalu. Semuanya berjalan baik-baik saja. Memiliki pasangan yang pengertian. Memiliki sahabat yang penyayang. Bagiku itu sebuah anugerah besar. Hingga pada akhirnya Rinal mengikuti tes kerja kontrak diluar daerah untuk penanggulangan daerah terpencil. Awalnya semua biasa saja. Hingga pada akhirnya musibah itu menerjang kami begitu saja. Rinal lulus menjadi pegawai kontrak namun di tempatkan diluar daerah. Kini dia di kalimantan. Pulau yang terpisah dari sumatra. Terpisah dari aceh.  Meski begitu komunikasi kami masih lancar sebelum musibah itu menerjang. Dhika juga selalu mengingatkanku untuk tetap setia juga tetap tenang meskipun Rinal jauh.
“selama aku disini kamu pacaran dengan dhika?” suara Rinal dari seberang telpon
“sama sekali tidak. Kamu sendiri tahukan siapa dhika? Bagaimana aku dengan dhika?”
“terus kenapa kamu tadi sore kamu jalan mesra dengan dhika?”
“demi Tuhan aku tidak sebejat itu. Aku tau kamu jauh, tapi aku tidak selicik itu. Aku tahu bagaimana batasan. Aku tahu bagaimana aku harus bersikap.”
“kamu bisa saja bohong!!!”
“kamu tanyakanlah sendiri pada dhika. Apa yang terjadi. Itu ngga lebih dari sekedar belajar saja. Aku meminta dhika mengajariku soal beberapa sintaksis pemograman. Cuma untuk kenyamanan kami memilih tempat di taman kota. Demi Tuhan aku ngga bohong”
“terserahlah. Dan aku sama sekali tidak percaya omong kosong yang seperti itu”
Selama ini tidak pernah kami bertengkar. Ini baru pertama kalinya. Ada seseorang yang memata-mataiku, kurasa. Dan peristiwa pertengkaran semalam tidak pernah aku ceritan pada dhika. Pertengkaran itu semakin berlanjut dari hari kehari. Hingga akhirnya melebihi sebulan kami terus bertengkar. Setiap apa yang aku lakukan diluar kampus diketahui oleh Rinal. Dan aku di fitnah sudah sejauh ini.Aku tidak tahan dengan semua. Keluh kesahku akhirnya kuceritakan pada dhika.
“wa’alaikumsalam. Abang masih ditempat kerja. Lagi benerin beberapa sistem komputeristik perbankkan”
“ooo.... yasudah, ngga papa juga kalo gitu bang, maaf ya kalo ngganggu”
“ngga loh ra, kamu lagi ada maslah ya? Kalo gitu kita jumpa jam 4 sore nanti di taman ya”
Semua kecewaku terhadap Rinal, curigaku tentang mata-mata, sakit hati dan semua yang kurasa kutuangkan begitu saja. Dhika mengangguk dalam. Itu pertanda dia cukup paham dengan keadaan ini. Senja sore yang merona sama sekali tidak mencuri perhatianku. Aku masih larut dalam keadaan tak menentu ini.
“kamu yang tabah ya. Setiap prilaku jahat itu pasti akan terungkap. Ini Cuma soal waktu aja”
“makasih bang. Tapi aku heran kenapa ada penfitnah sekeji itu”
“kita tidak pernah tahu isi hati orang, Ra. Orang yang kita lihat biasa saja bisa jadi menyimpan cinta yang dalam untuk kita. Dan sebaliknya orang yang kita cinta belum tentu sebaik yang kita kira”
Selang beberapa minggu setelahnya hubungan kami berakhir. Sepertinya kami sama-sama memendam amarah antara satu dengan yang lain. Rinal terlalu percaya akan omongan orang yang menfitnahku atau si penfitnah terlalu banyak menaburkan merica penyedap untuk menghancurkan asa.dhika masih selalu mensuport. Dia masih sebaik yang dulu. Tidak berapa lama akhirnya aku tahu siapa penfitnah keji itu
“selama ini kau percaya  omongan rani? Asal kamu tau Rani itu adalah musuh dalam selimut. Dia begitu karna dia juga menaruh rasa yang sama terhadapmu”
“kamu tahu dari mana? Rani mengaku melihat semua” aku Rinal dari seberang telpon
“bang novar yang cerita semua. Kurasa cinta rani terhadapmu melibihi aku. Lama jadi rekan kerjamu dalam satu studio. Menurutku hal wajar kalo benih cintanya bisa numbuh. Dan kecewanya aku kenapa kamu bisa percaya kata-kata orang tapi tidak dengan penjelasanku” misuhku saat itu
“maafin aku. Aku sangka semua itu benar. Dan aku punya foto-fotonya semua yang dikirimkan rani”
“aku kecewa”
Semenjak kejadian itu dhika yang penyayang terlihat lebih peka terhadapku. Lebih memperhatikan keadaanku. Itu hal terbesar yang pernah kudapat dari seorang sahabat. Namun hal ini sepertinya terhenti semenjak sebulan terakhir. Sayangnya tidak lagi seperti yang dulu. Laksana awan gelap berkelabung. Namun tak ada tanya mengapa yang keluar dari mulutku. Aku lunglai dikunyah asa untuknya. Namun hal terbesar dalam hidupku juga telah dimulai. Sosok lelaki impian telah kudapat sebagai pengganti Rinal. Aku rasa ada yang berubah dari aku. Beberapa teman kuliah mengatakan aku sedikit terseret dari sikap tomboy dan cuekku yang dulu.dhika juga pernah mengungkapka hal itu. Dan dia senang. Namun perhatiannya tetap saja tidak sebanyak dulu. Kupikir itu karna dia mulai menemukan seorang yang dia cinta. Dan perhatiannya kepada perempuan itu jauh lebih diutamakan dibanding untuk aku yang hanya sebatas adik kelasnya.
****
Mengawali pagi cerah hari ini berawal dari ucapan selamat pagi dari sosok pangeran hati. Dialah a'im. Lelaki baru yang mampu menembus dinding hati dan mencoba menetap disana. Dan ucapan selamat pagi dari dhika juga tidak pernah absen. Hanya ucapan selamat pagi saja. Namun.... tidak berapa lama ringtone ponselku bunyi. Itu panggilan dari dhika.
“iya bg.... ooo... maaf bang. karra ngga bisa. Paginya kekampus. Siap dari kampus kebadan imigrasi bang”
“kamu mau kemana? Kok ke imigrasi?”
“temenin a'im buat pasport bg. Mungkin lain kali aja ya bang. Maaf ra ngga bisa temenin abang hari ini”
Dhika memintaku untuk menemaninya ke toko buku. Dari nada bicaranya yang kudengar dari sebrang telepon sepertinya tersimpan kecewa. Aku maklum karna sebelumnya kau tidak pernah menolak ajakannya. Demikian juga dia.
Malam hari. Dhika mengungkapkan bahwa saat dikampus siang tadi ia sempat melihat aku dengan a'im. Hanya saja aku yang tidak menoleh kearahnya. Hal itu terjadi karena memang aku tidak tahu keberadaannya kala itu.
Demikian selanjutnya. Dhika mulai sedikit agak terlihat acuh. Dia mulai jarang kekampus hanya untuk sekedar bergabung nongkrong sore. Juga mulai jarang menanyakan keadaanku. Namun ucapan selamat pagi yang tidak pernah absen dia kirimkan. Hingga kemudian semuanya ku ketahui. Dan kini aku mulai memahami. Mulai menitikkan air dari likuk dua sungai kecil di pipi. Dan taman ini menjadi saksi. Taman dimana kami sering bergurau. Dimana kami sering bertukar pendapat. Tempat ia mengajariku berbagai mata kuliah yang aku tidak mengerti sebelumnya. Tempat dimana kesabarannya terpupuk untuk menunggu, untuk mengajari. Sore yang cerah sebetulnya. Namun keadaan membuatku merasa semuanya begitu kelam untuk saat ini.
“aku Cuma mau pamit dek” ungkapan pertamanya
“mau kemana?”
“aku diterima kerja di jakarta. Disebuah perusahaan sana. Aku dikontrak selama 3 tahun”
“jadi??..... aku ngga bisa larang juga, kan? Aku bukan siapa-siapa. Baik-baik disana”
“kamu juga baik-baik disini”
“jangan lupa kirimin aku kabar ya”
“pasti. Kamu baik-baik sama a'im. Aku ngga mau kejadian seperti yang lalu terulang lagi. Jangan sampai di bodohi oleh keadaan”
“iya, bang”
“aku ngga pernah tau kapan kita bisa jumpa lagi dek. Tapi perlu kamu tau bahwa aku akan merinduimu..... hhhmmm.... sebenarnya aku Cuma mau bilang sesuatu makanya aku mengajak ketaman”
“apa itu?”
“sebelumnya aku mau nanya. Apa kamu merasa aku bertingkah aneh?”
“ngga”
“maaf sebelumnya. Apa karra punya rasa sama abang?”
“rasa seperti apa?”
“semacam cinta”
“cinta sebagai kakak kelas yang baik juga sebagai malaikat berwujud manusia”
“aku sudah menebaknya. Kamu harus tau. Namun sebetulnya aku tidak ingin kamu mengetahuinya. Tapi hal ini tidak dapat aku pendam”
Sejenak kemudian hening. Dhika sepertinya mencoba menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan pikiran dan hatinya kurasa. Ada rasa berat untuk berbicara sepertinya. Aku memperhatikan dengan seksama. Dia kelihatan gugup. Lantas menunduk. Tidak lagi menoleh aku yang duduk sampingnya.
“kamu tidak pernah sadar aku selalu memperhatikanmu semenjak masa orientasi angkatanmu dan itu sudah 3 tahun lamanya” dhika mulai berkata lagi namun masih dalam keadaan menunduk sambil mecabut rumput-rumput rapi yang kami jadikan alas tempat duduk. Aku terdiam
“aku senang kamu bisa temani aku. Aku senang saat kamu bisa dengarin keluh aku. Aku nyaman kala kamu disamping aku. Aku senang kamu dengerin nasehatku.
Dan sedihnya aku saat tau kamu tersakiti oleh rasamu kepada orang lain. Aku sedih karena aku bukan pelipur lara kamu. Namun sedih aku kala itu tidak sesedih aku sekarang, ra. Aku sebenarnya ngga ingin pergi dari Aceh. Aku ngga ingin jauh dari kamu. Tapi aku sadar semakin aku bertahan dengan keadaan seperti ini maka semakin gila6 aku dengan rasa ini.
Aku sayang kamu. Dan aku pernah berharap suatu saat bisa memilikimu. Hanya saja aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan. Awal aku tau kamu sama rinal aku cemburu karena sepertinya kamu cinta sama dia. Saat kamu putus aku senang. Aku ngga peduli kalau sekarang kamu bilang aku jahat. Tapi itu yang aku rasa. Saat kamu dengan Ridi, aku biasa saja. Karna aku tau kamu ngga akan bertahan lama dengan dengan anak pelayaran itu. Dan yang sangat disayangkan aku begitu lunglai sekarang. Hatiku hampir mati dikunyah rasaku untukmu. Terserah jika kamu bilang aku seperti cewe. Tapi ini yang aku rasa sekarang. Saat kamu dengan a'im aku lebih sakit dibanding saat kamu dengan Rinal”
“kenapa ngga pernah bilang dari dulu bang? Ra ngga pernah tau. Dan sekarang Ra minta maaf”
“ngga perlu minta maaf dek. Ngga ada yang salah. Yang ada hanya lelaki bodoh. Dan sekarang lelaki bodoh itu sadar bahwa tidak akan mungkin menunggu sesuatu yang tidak pernah jadi miliknya. Karna apa? Karena aku melihat begitu banyak perubahan yang ada. Kamu mulai sering ke mushalla kampus. Kamu udah ngga seabrek dulu. Kamu udah lembut. Jujur sebetulnya kau suka. Tapi sayang bukan aku yang melalukan itu padamu. a'im yang berhasil melakukannya. Jika boleh jujur, dari awal sebetulnya aku juga punya niat yang sama seperti yang dilakukan a'im padamu sekarang. Mungkin kurang aku hanya nyali aja yang selalu ciut, makanya tidak pernah berhasil.
Aku yakin kamu tidak akan meninggalkan orang yang telah membuat perubahan besar dalam hidup kamu. Aku tau kamu tidak sebodoh itu. Maka dari itu aku mundur. Meskipun ini bukan ajang kompetisi. Kamu bukan sesuatu yang di perebutkan namun aku tidak dapat mengelak kalo aku juga menginginkanmu untuk jadi pengisi hati”.
Aku terus terdiam meskipun dhika sudah berbicara panjang lebar. Aku mulai menangis. Tidak punya alasan untuk ini. Sepertinya semua sendi di otot bukan lagi alat gerak aktif. Aku terlalu kaku. Aku menyesal tidak pernah tau hal ini sebelumnya. Dan aku mulai ingat diawal kuliah saat pacarnya dhika melabrakku di kantin kampus.
“maaf kenapa abang putus dengan Linda?” tanyaku dalam serak tangis
“aku akui aku suka kamu. Dan Linda marah. Linda mutusin aku saat itu juga. Kamu ngga perlu nangis dek. Udah ngga da yang perlu ditangisi. Dan aku menyesal dengan ini” akhirnya dhika menatapku setelah lama menunduk. Matanya merah tapi tak terlihat bekas air mata disana. Dia menggenggam tangan kananku. Telapak tangannya begitu dingin, sedingin hatinya yang telah beku.
“apa abang menyesal karena mengakuinya kepada Linda?”
“sama sekali ngga. Aku bukan orang yang ngomong A-B-A-B, jika sekali aku bilang iya, maka sampai kapanpun hal itu ngga akan berubah, meski pada akhirny apa yang aku harap tidak bisa aku dapat. Dan mulai saat itulah aku slalu berusaha membuat kamu nyaman saat dengan aku. Untuk apa? Aku berharap kamu tau apa yang aku rasa. Tapi ternyata tidak. Dan mulai saat itu aku sadar kamu bukan pelabuh hati seperti pada umumnya. Aku mulai berusaha keras namun buka semata-mata untuk mendapatkan hatimu, tapi juga untuk kebaikanmu sendiri. Dan setelah aku tau kamu begitu mencintai naim, aku menyerah. Dan sepertinya kamu memang lebih pantas dengannya. Hatimupun aku kira sudah kamu kunci. Aku sadar itu, Ra”
“maaf bg, jika Ra tau dari awal mungkin hal ini ngga akan terjadi”
“maka dari itu aku tau dek. Sekeras apapun aku berusaha kamu ngga akan tau, karena kamu memang tidak punya rasa yang sama dengan aku. beruntunglah saat kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya. Dan jangan pernah berpikir aku akan membencimu. Aku ngga akan begitu. Kamu masih adek aku. Kalo nanti kamu mau cerita sesuatu kita masih bisa sharing. Hanya saja mungkin kita ngga akan jumpa. Aku akan merinduimu. Kamulah perempuan sederhana yang bisa mengalihkan hatiku setengah sempurna dan akan sempurna jika kamu mengimbangi setiap gerak langkahku”

Tiga jam berlalu begitu saja. Hingga pada akhirnya dhika mengantarku pulang. Itulah saat yang akan kuingat sampai kapanpun. Aku ngga akan bilang aku menyesal. Bukan karna aku angkuh namun karena sesuatu yang terlambat menjadi alasan dan aku telah menemui kebahagiaanku. Antara aim dan dhika akan tetap tertulis dalam ruang hati di tiap kisahnya. Kubiarkan kisah mereka membuat jendela-jendela indah sebagai ganti lentera jiwa. Aku tidak pernah menyamakan antara keduanya. Aku masih mempunyai naim sebagai pangeran penyejuk jiwa. Namun aku kehilangan sosok kakak yang penyayang. Sudah beberapa hari ini dhika berada dijakarta. Aku sedikit merasa kehilangan namun coba aku tepiskan. Aku masih bersikap seperti biasanya. Aku ngga ingin mengecewakan Naim. Dan dhika masih mengirimkan ucapan selamat paginya seperti biasa. Perlu kalian ketahui kawan, sungguh ini bukan sebuah persimpangan. Ini hanya sebuah kisah dari jenis lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar